Rabu, 09 Januari 2013

Idealisme di Jalan: Lupakan...

Kita yang dari sejak lahir hidup di Indonesia pasti sudah sangat hafal hiruk pikuknya jalan raya, baik di kota besar-yang memang acak-acakan maupun kota kecil-yang terlihat damai.

Lalu, apa hubungannya dengan idealisme? Adakah idealisme di jalan raya?

Idealisme yang saya maksud di sini adalah disiplin dalam berkendara di jalanan. Ya, ketika ada pejalan kaki maka motor mengalah untuk berhenti sejenak, ketika motor mau lewat maka mobil mempersilakan dahulu. Setiap kendaraan sadar dengan porsi jalannya masing-masing, motor selalu di arah kiri dan mobil lebih dekat dengan tengah jalan, tidak ad saling menyabotase jalan. Saat melewati lampu lalu lintas, maka lampu merah harus berhenti, lampu kuning mengurangi kecepatan, dan lampu hijau silakan lewat tanpa hambatan.

Menurut anda masih perlukah beberapa peraturan lalu lintas tersebut diikuti secara idealis di negara kita? Sebagian akan mengatakan, 'ya kita mulai dari diri sendiri untuk suatu perubahan yang besar. Indonesia udah carut marut dari jalan raya hingga politik pembuatan jalan raya, jadi jelas idealisme di jalan harus dipertahankan'. Sebagian lagi mengatakan 'sudahlah, kita tidak perlu terlalu idealis, telat nanti'.

Pendapat yang saya sampaikan di sini memang tidak terlalu baik.

Saat itu malam ba'da isya saya harus berkendara ke arah Jl. Nitikan dan sampailah di lampu merah setelah RSI Hidayatulloh. Lampu hijau itu terburu-buru menjadi merah saat saya sudah berjarak beberapa meter darinya. 'Yaah berhenti..' sambil menengok spion kiri, terlihat dari belakang motor berkecepatan tinggi yang ingin menabrak lampu merah dan akhirnya ikut berhenti. "Ckckck kurang beruntung mas.." gumam batinku. Setelah menunggu 77 detik, motor sudah saling bergerak dan... Jedug, motor saya ditabrak dari belakang dengan bunyi suara klakson yang tinggi. Saya tak bergeming dan hanya menoleh ke belakang tapi tidak ada niat melihat pelakunya. "Tunggu sampai lampu hijau mas..." batin saya kesal.

Kejadian tersebut terjadi lagi untuk kedua kalinya di jalan yang berbeda, ditabrak dari belakang saat lampu merah masih disiplin menyala untuk tiga menit lagi. Jika orang mengatakan, "keinginan kita menjadi safety rider buat yang lain, belum tentu kita akan safe di jalanan", maka pernyataan itu adalah benar.

Previous case tadi adalah tentang lampu merah. Next case adalah lampu kuning. Ketika lampu kuning sudah menyala, maka itu bukanlah peringatan lalu lintas untuk mengendarai motor dengan pelan. Peraturan masyarakat mengatakan bahwa saat lampu kuning menyala menuju lampu merah, maka tambah kecepatan agar selamat dari lampu merah dan dapat melanjutkan perjalanan.

Ketika saya sedang berkendara, lima meter di depan sudah kuning, tetapi saat saya melihat spion kanan, terlihat banyak kendaraan bermoor berkecepatan tinggi. Saat tepat di lampu lalu lintas,warnanya sudah berganti merah. Jujur saja saya terjang lampu merah tersebut. Berdasarkan perhitungan perkiraan saya, jika saya berhenti saat itu, maka mungkin saya akan dibawa ke rumah sakit setelah terkena terjangan kendaraan-kendaraan bermotor berkecepatan tinggi dari belakang. Idealisme tak dapat dipertahankan saat itu. Hal ini yang sering kali terjadi dan inilah yang saya sebutkan di awal bahwa tulisan ini tidak sepenuhnya mengajarkan yang benar.

Saya memang tidak mau mengambil resiko tertabrak motor karena sebuah idealisme, saya masih membutuhkan sehat dan mencari rezeki.

Jadi, kesimpulannya adalah menjadi safety rider bwt orang lain bukan berarti diri kita akan safe di jalanan Indonesia. Mempertahankan idealisme jelas harus dipelihara dan diajarkan pada generasi sesudah kita agar masyarakat kita terbiasa disiplin di jalanan.

Published with Blogger-droid v2.0.9

Tidak ada komentar: