Kamis, 10 Juni 2010

Mengukur Kedewasaan

Kehidupan ini sungguh unik. Semua oleh Allah diciptakan secara seimbang. Kesenangan, kesedihan, kemenangan, kekalahan, keberhasilan, kesuksesan, semua orang pasti telah merasakannya. Semua berputar secara sadar ataupun tidak.

Tidaklah sesuatu yang berputar itu kecuali cobaan bagi manusia, untuk mengetahui siapa yang beriman dan siapa yang kafir, siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur. Inilah cara Allah meningkatkan kapasitas keimanan hamba-Nya. Semuanya bermula sama, seiring bergulirnya waktu, manusia itu sendirilah yang akan memilih jalannya sendiri, apakah Ia akan menapaki jalan-Nya ataukah ia akan menapaki jalan bayangan yang dibuat syetan. Untuk memilih dua ini, hanyalah butuh iman untuk menunjukkannya, kesadaran akan nikmat Allah dan upaya diri untuk selalu bersyukur.

Satu hal yang membuat manusia mengelak atas nikmat Allah yang telah diberikan, yaitu kesombongan. Ya, itulah sifat syetan yang telah menjerumuskan diri mereka sendiri ke dalam jurang neraka yang sangat dalam. Lalu, secara sadar ataupun tidak, entah kapan itu, barangkali kita juga sudah lupa, pernah gag sih ngerasa lupa untuk bersyukur? Sering, atau kadang-kadang, atau satu dua kali, atau tidak sama sekali. Tidak sama sekali itu lupa atau terlupakan?

Dalam setiap harinya, Rasulullah selalu bertaubat, beristighfar, memohon ampun kepada Allah, sebanyak minimal 70 kali. Rupanya jumlah yang cukup membuat kita tercengang dan malu. Entah karena kita hanya sering menengadahkan tangan, merintih dan meminta untuk selalu memenuhi keinginan kita (ingat, keinginan bukan kebutuhan), dan kita lupa untuk beristighfar. Atau kita menyadari bahwa Rasulullah itu lho telah dijamin surga, selalu dipantau oleh Allah, dan langsung ditegur oleh Allah jika hendak melakukan kesalahan, bertaubat saja minimal 70 kali. Kita? hehe, setiap kali berbuat dosa hanya bisa nyengir atau seringnya innocent. Ckckck, wajah yang terlalu polos...

Nah, bahasan di atas baru sekedar pengantar.. Hehehe.. ^^V
Kali ini saya akan coba-coba asal jadi untuk merefleksikan diri akan selama ini yang telah dilalui (halaahhh). Yang pasti, kepala dua telah banyak hal yang dilalui, segala perputaran peristiwa yang telah dibahas di atas pun pernah dirasakan. Tetapi, seringnya merasa bahwa diri ini tidaklah cukup dewasa untuk memaknai semua hal yang terjadi. Entah dalam mengambil keputusan dan tindakan, atau hanya sekedar berpikir dewasa pun rasanya sulit. Umur tidak menentukan kedewasaan tiap orang, tetapi kewajaran diukur dari sana. Maksud saya, jika ada seorang yang lebih berumur itu lebih dewasa dalam berpikir dan bersikap daripada yang muda, maka itu wajar. Gimana kalau sebaliknya? Nah lho, kalau sebaliknya pasti jawabannya 'tidak wajar'. Karena secara teori lidahnya sudah sangat pahit akibat sudah terlalu banyak menelan asam garam kehidupan, katanya sih... Tetapi, sepertinya kita pun sepakat bahwa kita sudah menyadari kog kalau orang yang lebih tua itu belum tentu lebih dewasa dari yang muda.

Kalau untuk diri saya sendiri, sangat sadar dan menyadari bahwa apa yang sering dilakukan ya belum sepenuhnya dipikirkan matang-matang. Sering berupa ketergesa-gesaan dan sering pula melakukan hal-hal yang sia-sia. Waktu yang kita miliki kan hanya 24 jam, sedangkan kerjaan yang harus kita selesaikan itu lebih dari waktu yang kita punya. Tetapi, kesan manja meminta waktu untuk bersantai, kekanak-kanakan meminta pengertian orang lain saat kerjaan gag beres, atau atas nama merenung dan muhasabah akhirnya memikirkan hal yang sebenernya gag penting.

Trus, pernah gag sih kita berpikir pengen mengurangi ketidakwajaran yang terjadi di tengah-tengah kehidupan kita. Kan banyak tuh yang berpikir praktis dan akibatnya sikap yang diambil pun lebih mempersulit diri sendiri. Mulai dari sini kita akan bicara bagaimana mengubah pola pikir bangsa kita untuk mendewasakan diri. Percaya deh gag akan ada pengangguran, gag akan ada korupsi dan gag akan ada tuh sampah yang berserakan di jalan. Why and why? Ya iya dong, orang yang nganggur itu kan orang yang putus asa, orang yang korupsi jelas dia berpikir kekanak-kanakan, orang yang buang sampah sembarangan seperti seorang bayi yang masih dalam buaian ibu (belum tahu yang baik dan yang buruk).

Kedewasaan itu terbentuk saat di hati kita hanya ada iman. Segala sesuatu yang kita lakukan hanya untuk Allah dan kita menyadari sepenuhnya bahwa Allah selalu melihat kita. Saat hati kita bersih dan bersinar oleh iman, maka apa yang kita lihat, ucapkan dan keputusan yang diambil, semuanya berdasarkan bashirah (mata hati). Apa sih sebenernya arti kedewasaan itu?

Bolehkah saya definisikan secara mudahnya seperti ini: Orang dewasa itu gag gampang marah, berpikir objektif, tenang dalam sikap, tepat dalam mengambil keputusan, sabar, pemaaf, senantiasa bersyukur, peka hati, bebas dari penyakit hati (gag ada tuh iri, dengki, sombong de el el), gag pernah berprasangka (selalu berhuznudzon), menginspirasi dan sejuk kalau dipandang (sampai-sampai orang yang lagi banyak masalah, melihatnya pun seolah-olah masalahnya sudah selesai). Lalu, siapa yang akan bisa menjadi seperti itu kalau bukan orang yang mempunyai bashirah? Tahukah engkau? Karena, saat dia memandang, mendengar, melangkah, Ia senantiasa dibimbing oleh Allah. Dia telah memilih Allah untuk menjadi satu-satunya penolong, satu-satunya Dzat yang akan memandang apa yang telah ia lakukan dan satu-satunya Dzat yang mendengarkan segala keluh kesahnya. Semarah apapun, ia kembali kepada Allah, meluapkan marahnya dalam sepi, menerjemahkan kemarahannya dalam air mata, dan semuanya akan kembali seperti semula.

Sedikit saya mau cerita tentang kemarahan. Ada seorang yang bercerita, sebut saja namanya mba Septi (nama samaran, hehe gag tau kog dapat nama Septi). Dia pernah bercerita, saat itu keluarganya dan dia sendiri sedang didzalimi oleh seseorang, keputusan yang diambil oleh orang itu sangat memojokkan dan mempersulit keluarganya. Secara jelas orang itu di hadapannya, duduk satu meter di dekatnya. Ada alasan untuk marah, sangat ada, bahkan Allah pun telah berfirman kalau ada orang yang mendzalimimu maka engkau boleh membalasnya. Tapi, jika kita berhenti di ayat itu saja tanpa melanjutkan terusan ayatnya, maka ya bolehlah mba Septi menamparnya dan mengusir dari rumahnya. Dengan darah yang sudah mendidih, nafas yang naik turun tidak karuan, ia berusaha melanjutkan ayat tersebut, "tetapi jika engkau memaafkan maka itu lebih baik bagimu". Kemudian ia ingat sabda Rasulullah, "Jika engkau marah maka ubahlah posisimu". Akhirnya mba Septi pun yang semula duduk, berdiri dan berjalan tanpa arah, masih belum bisa menahan marah akhirnya berbaring. Rupanya tidak cukup untuk menahan kemarahan, akhirnya beliau berniat mengambil air wudhu karena inipun perintah Rasulullah. Sampai wudhu pun beliau tidak mampu menahan amarahnya. Lalu, apa yang beliau lakukan. Beliau mandi dan ia luapkan kemarahannya dengan setiap guyuran air. Karena marah itu dari syetan dan syetan itu dari api, sedangkan api hanya dapat dipadamkan dengan air.

Masya Allah ya, ada orang-orang yang berpikir untuk apa marah, padahal dia sendiri punya alasan untuk marah. Menahan marah adalah bagian dari kedewasaan. Dewasa adalah sebuah pilihan, ia didasari oleh keimanan dan kesyukuran. Gimana kabarmu sekarang?? ^^

Semoga bermanfaat...
Salam Jihad dan Dakwah!!

Jum'at yang suci, pondok Nabila, Yogyakarta

Selasa, 08 Juni 2010

Tulisan Santi Soekanto sebelum Mavi Marmara digiring Israel

Sebuah renungan mendalam... Ngapain sih berjuang kalau hanya dapat capek? Ngapain sok jadi pahlawan kalau hanya butuh label? Ya Allah, teguran manis dari-Mu tidak pernah qhiraukan... Mungkinkah Engkau akan memberikan teguran yang begitu keras hingga aku baru menyadarinya... Jika itu cara yang membuat kami sadar, jangan pernah Engkau bosan mengingatkan kami.


Santi Soekanto (istri dari Dzikrullah Pramudya yang dikabarkan merupakan salah satu korban tewas) adalah salah satu dari 12 WNI di kapal Mavi Marmara yang diserbu Israel.
Sebelum penyerbuan itu, Santi sempat mengirimkan surat elektronik yang sangat menyentuh.


Berikut tulisannya :


Di atas M/S Mavi Marmara, di Laut Tengah, 180 mil dari Pantai Gaza.
(ket. satu hari sebelum serangan Israel).

Sudah lebih dari 24 jam berlalu sejak kapal ini berhenti bergerak karena sejumlah alasan, terutama menanti datangnya sebuah lagi kapal dari Irlandia dan datangnya sejumlah anggota parlemen beberapa negara Eropa yang akan ikut dalam kafilah Freedom Flotilla menuju Gaza.
Kami masih menanti, masih tidak pasti, sementara berita berbagai ancaman Israel berseliweran.

Ada banyak cara untuk melewatkan waktu – banyak di antara kami yang membaca Al-Quran, berzikir atau membaca.
Ada yang sibuk mengadakan halaqah.
Beyza Akturk dari Turki mengadakan kelas kursus bahasa Arab untuk peserta Muslimah Turki.
Senan Mohammed dari Kuwait mengundang seorang ahli hadist, Dr Usama Al-Kandari, untuk memberikan kelas Hadits Arbain an-Nawawiyah secara singkat dan berjanji bahwa para peserta akan mendapat sertifikat.

Wartawan sibuk sendiri, para aktivis – terutama veteran perjalanan-perjalan an ke Gaza sebelumnya – mondar-mandir; ada yang petantang-petenteng memasuki ruang media sambil menyatakan bahwa dia "tangan kanan" seorang politisi Inggris yang pernah menjadi motor salah satu konvoi ke Gaza.


Activism

Ada begitu banyak activism, heroism. Bahkan ada seorang peserta kafilah yangmengenakan T-Shirt yang di bagian dadanya bertuliskan "Heroes of Islam" alias "Para Pahlawan Islam."
Di sinilah terasa sungguh betapa pentingnya menjaga integritas niat agar selalu lurus karena Allah Ta'ala.

Yang wartawan sering merasa hebat dan powerful karena mendapat perlakuan khusus berupa akses komunikasi dengan dunia luar sementara para peserta lain tidak.
Yang berposisi penting di negeri asal, misalnya anggota parlemen atau pengusaha, mungkin merasa diri penting karena sumbangan material yang besar terhadap Gaza.

Kalau dibiarkan riya akan menyelusup, na'udzubillahi min dzaalik, dan semua kerja keras ini bukan saja akan kehilangan makna bagaikan buih air laut yang terhempas ke pantai, tapi bahkan menjadi lebih hina karena menjadi sumber amarah Allah Ta'ala.


Mengerem

Dari waktu ke waktu, ketika kesibukan dan kegelisahan memikirkan pekejaan menyita kesempatan untuk duduk merenung dan tafakkur, sungguh perlu bagiku untuk mengerem dan mengingatkan diri sendiri.
Apa yang kau lakukan Santi? Untuk apa kau lakukan ini Santi? Tidakkah seharusnya kau berlindung kepada Allah dari ketidakikhlasan dan riya?
Kau pernah berada dalam situasi ketika orang menganggapmu berharga, ucapanmu patut didengar, hanya karena posisimu di sebuah penerbitan? And where did that lead you?
Had that situation led you to Allah, to Allah's blessing and pleasure, or had all those times brought you Allah's anger and displeasure?

Kalau hanya sekedar penghargaan manusia yang kubutuhkan di sini, Subhanallah, sungguh banyak orang yang jauh lebih layak dihargai oleh seisi dunia di sini.
Mulai dari Presiden IHH Fahmi Bulent Yildirim sampai seorang Muslimah muda pendiam dan shalihah yang tidak banyak berbicara selain sibuk membantu agar kawan-kawannya mendapat sarapan, makan siang dan malam pada waktunya.
Dari para ulama terkemuka di atas kapal ini, sampai beberapa pria ikhlas yang tanpa banyak bicara sibuk membersihkan bekas puntung rokok sejumlah perokok ndableg.

Kalau hanya sekedar penghargaan manusia yang kubutuhkan di sini, Subhanallah, di tempat ini juga ada orang-orang terkenal yang petantang-petenteng karena ketenaran mereka.

Semua berteriak, "Untuk Gaza!" namun siapakah di antara mereka yang teriakannya memenangkan ridha Allah?
Hanya Allah yang tahu.


Gaza Tak Butuh Aku

Dari waktu ke waktu, aku perlu memperingatkan diriku bahwa Al-Quds tidak membutuhkan aku.
Gaza tidak membutuhkan aku.
Palestina tidak membutuhkan aku.

Masjidil Aqsha milik Allah dan hanya membutuhkan pertolongan Allah.
Gaza hanya butuh Allah. Palestina hanya membutuhkan Allah.
Bila Allah mau, sungguh mudah bagiNya untuk saat ini juga, detik ini juga, membebaskan Masjidil Aqsha.
Membebaskan Gaza dan seluruh Palestina.

Akulah yang butuh berada di sini, suamiku Dzikrullah-lah yang butuh berada di sini karena kami ingin Allah memasukkan nama kami ke dalam daftar hamba-hambaNya yang bergerak - betapa pun sedikitnya - menolong agamaNya.
Menolong membebaskan Al-Quds.

Sungguh mudah menjeritkan slogan-slogan, Bir ruh, bid dam, nafdika ya Aqsha. Bir ruh bid dam, nafdika ya Gaza!

Namun sungguh sulit memelihara kesamaan antara seruan lisan dengan seruan hati.


Cara Allah Mengingatkan

Aku berusaha mengingatkan diriku selalu.
Namun Allah selalu punya cara terbaik untuk mengingatkan aku.

Pagi ini aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekedarnya - karena tak mungkin mandi di tempat dengan air terbatas seperti ini, betapa pun gerah dan bau asemnya tubuhku.

Begitu masuk ke salah satu bilik, ternyata toilet jongkok yang dioperasikan dengan sistem vacuum seperti di pesawat itu dalam keadaan mampheeeeet karena ada dua potongan kuning coklaaat menyumbat lubangnya!
Apa yang harus kulakukan?
Masih ada satu bilik dengan toilet yang berfungsi, namun kalau kulakukan itu, alangkah tak bertanggung- jawabnya aku rasanya?
Kalau aku mengajarkan kepada anak-anak bahwa apa pun yang kita lakukan untuk membantu mereka yang fii sabilillah akan dihitung sebagai amal fii sabilillah, maka bukankah sekarang waktunya aku melaksanakan apa yang kuceramahkan?

Entah berapa kali kutekan tombol flush, tak berhasil.
Kotoran itu ndableg bertahan di situ.
Kukosongkan sebuah keranjang sampah dan kuisi dengan air sebanyak mungkin – sesuatu yang sebenarnya terlarang karena semua peserta kafilah sudah diperingatkan untuk menghemat air - lalu kusiramkan ke toilet.

Masih ndableg.
Kucoba lagi menyiram
Masih ndableg.
Tidak ada cara lain. Aku harus menggunakan tanganku sendiri

Kubungkus tanganku dengan tas plastik.
Kupencet sekali lagi tombol flush.
Sambil sedikit melengos dan menahan nafas, kudorong tangan kiriku ke lubang toilet.

Blus!
Si kotoran ndableg itu pun hilang disedot pipa entah kemana

Lebih dari 10 menit kemudian kupakai untuk membersihkan diriku sebaik mungkin sebelum kembali ke ruang perempuan, namun tetap saja aku merasa tak bersih.
Bukan di badan, mungkin, tapi di pikiranku, di jiwaku.

Ada peringatan Allah di dalam kejadian tadi - agar aku berendah-hati, agar aku ingat bahwa sehebat dan sepenting apa pun tampaknya tugas dan pekerjaanku, bila kulakukan tanpa keikhlasan, maka tak ada artinya atau bahkan lebih hina daripada mendorong kotoran ndableg tadi.

Allahumaj'alni minat tawwabiin
Allahumaj'alni minal mutatahirin
Allahumaj'alni min ibadikassalihin


29 Mei 2010, 22:20

Santi Soekanto,
Ibu rumah tangga dan wartawan yang ikut dalam kafilah Freedom Flotilla to Gaza Mei 2010