Kamis, 23 Juli 2009

Ummu Ruman Seorang Bidadari Surga


Wanita ini bernama Zainab atau biasa disebut Di’din. Tapi ia lebih sering dipanggil dengan laqab (nama panggilan) Ummu Ruman. Wanita ini anak perempuan dari Amir bin Uwaimir bin Abdullah Syams bin ‘Iqab. Nasabnya berakhir di Kinanah.

Ummu Ruman tinggal di wilayah yang bernama As-Sirat, yaitu sebuah dataran berkontur pegunungan dan berbukitan di Jazirah Arabia. Ketika sampai usia akil balig, ia dinikahkan dengan pemuda sedesanya yang bernama Harits bin Sakhbarah bin Jurtsumah Al-Kaher. Dari pernikahan ini lahirlah seorang putra yang diberi nama Ath-Thufail.

Kemudian Ummu Ruman dan anaknya, Ath-Thufail, dibawa Harits pindah ke Makkah. Di Makkah, keluarga kecil ini tinggal dan mendapat perlindungan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. Sayang, Harits tidak dikarunia Allah swt. dengan umur panjang. Ia meninggal setelah setahun tinggal di Makkah. Abu Bakar kemudian menikahi Ummu Ruman dan merawat Ath-Thufail. Ummu Ruman pun menjadi istri kedua Abu Bakar.

Dari istri pertamanya, Abu Bakar memiliki dua orang anak, yaitu Asma dan Abdullah. Dari pernikahan dengan Ummu Ruman, Abu Bakar pun mendapat dua orang anak, yaitu Aisyah dan Abdurrahman. Selisih usia Asma dan Aisyah sepuluh tahun. Ummu Ruman menyatukan Ath-Thufail, Asma, Abdullah, Aisyah, dan Abdurrahman dalam asuhannya.

Ummu Ruman masuk Islam ketika Abu Bakar masuk Islam. Jadi, ia termasuk salah satu as-sabiqunal awwalun (kelompok pertama yang masuk Islam). Seluruh anak-anaknya mengikuti jejaknya masuk Islam, kecuali Abdurrahman. Dengan begitu, rumah Ummu Ruman adalah rumah kedua yang berada dalam naungan Islam setelah rumah Rasulullah saw.

Berbagai macam siksaan yang dilakukan kafir Quraisy kepada kaum muslimin di Makkah juga menimpa diri Ummu Ruman. Apalagi ia aktif bahu-membahu dengan suaminya, Abu Bakar, menyelamatkan orang-orang yang telah memeluk Islam ketika itu dari gangguan kafir Quraisy.

Sebagai ibu, Ummu Ruman sangat disiplin dan berhasil mendidik anak-anaknya. Sebagai seorang istri, ia sangat menghormati hak-hak suaminya. Dan, ia adalah seorang wanita yang menepati janji lagi bijak bestari. Sifat-sifat mulia itu terekam dalam peristiwa Rasulullah saw. meminang Aisyah.

Muhammad bin Amr menceritakan kepada kami. Ia berkata, Abu Salamah dan Yahya menceritakan kepada kami, ketika Khadijah telah meninggal dunia, Khaulah binti Hakim –istri Utsman bin Mazh’un—datang menemui Rasulullah saw. dan berkata, “Ya Rasulullah, tidakkah engkau menikah lagi?” Beliau berkata, “Dengan siapa?” Khaulah berkata, “Apabila engkau mau, engkau dapat menikahi seorang gadis, atau seorang janda.” Beliau bertanya, “Siapakah gadis tersebut?” Khaulah menjawab, “Putri hamba Allah Azza wa Jalla yang paling engkau cintai di muka bumi, Aisyah binti Abu Bakar.” Beliau bertanya lagi, “Lalu siapakah janda tersebut?” Khaulah menjawab, “Saudah binti Zam’ah. Ia telah beriman kepadamu dan mengikuti segala yang engkau ucapkan.” Rasulullah berkata, “Kalau begitu pergilah kepada keduanya, dan sebutkan namaku kepada mereka.”

Khaulah kemudian datang ke rumah Abu Bakar, dan ketika masuk ia berkata, “Wahai Ummu Ruman, kebaikan dan keberkahan apakah yang dicurahkan Allah Azza wa Jalla kepada kalian?” Ummu Ruman bertanya, “Apakah itu?” Khaulah menjawab, “Rasulullah saw. mengutusku meminang Aisyah untuk beliau.” Ummu Ruman berkata, “Kalau begitu, tunggulah sampai Abu Bakar pulang.”

Setelah Abu Bakar tiba, Khaulah menyampaikan maksud Rasulullah saw. Setelah mendengan kabar itu, Abu Bakar berkata, “Tunggu sebentar.” Abu Bakar pun keluar rumah. Ummu Ruman berkata kepada Khaulah, “Sesungguhnya Muth’im bin Ady pernah menyebutkan nama Aisyah di hadapan putranya, dan demi Allah, Abu Bakar tidak pernah menjanjikan sesuatu lalu melanggarnya.”

Abu Bakar pergi menemui Muth’im bin Ady. Ternyata Muth’im menarik kembali ucapannya karena khawatir anaknya masuk Islam. Setelah itu, Abu Bakar berkata kepada Khaulah, “Panggillah Rasulullah saw. kemari.” Khaulah pun pergi menjemput Rasulullah saw. Tak lama kemudian Abu Bakar menikahkan Rasulullah saw. dengan putrinya, Aisyah, yang ketika itu berusia 6 tahun.

Tak lama setelah pernikahan itu, Rasulullah saw. mendapat perintah untuk berhijrah. Abu Bakar diminta Rasulullah saw. mendampingi. Abu Bakar segera menyampaikan hal itu kepada isterinya, Ummu Ruman. Berita itu tidak membuat Ummu Ruman takut, meski ia harus tetap tinggal di Makkah bersama dengan anak-anaknya di bawah ancaman mara bahaya yang mungkin terjadi. Ummu Ruman justru berkata, “Sesungguhnya keluarga Rasulullah saw. harus menjadi teladan kita.”

Setelah Abu Bakar berangkat mendampingi Rasulullah saw. menuju Madinah, Ummu Ruman tetap melakukan tugas dan perannya seperti biasa. Tak lama kemudian ia menyusul hijrah ke Madinah bersama keluarganya dan keluarga Rasulullah saw., Fathimah, Ummu Kaltsum, Saudah, Zaid bin Haritsah, Abu Rafi’, hamba sahaya Rasulullah saw., Abdullah bin Ariqazh yang diutus Nabi untuk membawa mereka semua ke Madinah. Thalhah bin Abdullah pun turut serta dalam kafilah ini.

Ketika tiba di Madinah, Ummu Ruman berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Bakar, tidakkah engkau mengingatkan Rasulullah saw. tentang perkara Aisyah?” Maka Abu Bakar segera berangkat menemui Rasulullah saw. dan berkata kepadanya, “Tidakkah engkau ingin menggauli keluargamu, ya Rasulullah?”

Kisah selanjutnya Aisyah sendiri yang menceritakannya. Aisyah r.a. berkata, “Nabi Muhammad saw. menikahiku pada saat aku berusia 6 tahun. Kami kemudian pergi ke Madinah dan tinggal di kediaman Bani Harits bin Khazraj, ketika itu saya tidak enak badan dan rambut pun rontok. Ibuku –Ummu Ruman—kemudian mendatangiku yang ketika itu aku berada di sebuah ayunan bersama teman-temanku. Ia kemudian memanggilku. Aku pun mendatanginya meski tidak tahu apa yang ia inginkan dariku.

Ia kemudian memegang tanganku dan menghadangku di pintu rumah, hingga aku mulai merasa tidak tenang. Ia kemudian mengambil sesuatu dari air dan mengusapkannya pada wajah dan kepalaku. Ia kemudian memasukkanku ke sebuah rumah yang sudah dipenuhi wanita-wanita Anshar. Mereka berkata, ‘Dengan segala kebaikan dan keberkahan, dan rezeki yang baik.’ Ia kemudian menyerahkanku kepada mereka dan segera mendandaniku, dan hal ini tidak membuatku merasa takut kecuali kedatangan Rasulullah saw. Mereka kemudian menyerahkanku kepada beliau, dan ketika itu aku berusia 9 tahun.” (HR. Bukhari dalam Kitab Manaqib, hadits nomor 3605)

Hubungan Rasulullah saw. dan Aisyah mendapat cobaan yang begitu dahsyat. Peristiwa ini juga berat dirasakan oleh Ummu Ruman, ibu Aisyah. Pada tahun keenam Hijriah, kaum munafikin menghembuskan fitnah yang menyerang kehormatan dan kemuliaan Aisyah. Ketika pulang dari memerangi Bani Musthaliq, Aisyah tertinggal rombongan Rasulullah saw. Ada seorang sahabat menemukan Aisyah dan mengantar pulang ke Madinah.

Sesampai di Madinah Aisyah sakit. Ia meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk dirawat di rumah ibunya, Ummu Ruman. Ketika itu sebenarnya sang ibu telah mendengar fitnah yang dihembuskan oleh kaum munafikin terhadap kesucian Aisyah. Ia berusaha menyembunyikan kabar itu dari anaknya.

Dari Masruq bin Ajda’ berkata, Ummu Ruman menceritakan kepadaku seraya berkata, ‘Ketika kami sedang duduk bersama Aisyah, tiba-tiba masuk seorang wanita Anshar dan berkata, “Semoga Allah melakukan yang demikian terhadap fulan!” Ummu Ruman kemudian berkata, “Siapakah orang itu?”

Wanita tersebut berkata, “Ia adalah putraku yang menceritakan desas-desus itu.” Ummu Ruman bertanya, “Apakah desas-desus tersebut.” Wanita itu pun menceritakan isu yang merebak di tengah kota berupa tuduhan terhadap Aisyah r.a. Aisyah kemudian berkata, “Apakah Rasulullah saw. telah mendengar berita tersebut?” Ia berkata, “Ya.” Ia bertanya, “Dan Abu Bakar?” Wanita itu menjawab, “Ya.” Mendengar itu, Aisyah pun jatuh pingsan.

Ketika sadar, Aisyah menemukan dirinya didera demam yang sangat tinggi. Saya –Ummu Ruman—lalu menghamparkan pakaiannya untuk menutupi tubuhnya.”

Tak lama kemudian Rasulullah saw. datang dan bertanya, “Bagaimana kondisi orang ini?” Ummu Ruman menjawab, “Ya Rasulullah , dia didera demam yang sangat tinggi.” Beliau berkata, “Mungkin saja karena desas-desus yang terkait dengan dirinya.” Ummu Ruman menjawab, “Ya.”

Aisyah kemudian duduk dan berkata kepada Rasulullah saw., “Kalaupun aku bersumpah, engkau tidak akan mempercayaiku. Dan bila aku mengatakannya, niscaya engkau tidak akan memaafkanku. Perumpamaan diriku dan dirimu bagaikan Ya’qub dan anak-anaknya yang berkata, ‘Dan Allah Maha Penolong atas apa yang kalian ceritakan.’”

Ummu Ruman berkata, “Beliau kemudian keluar dan tidak mengatakan apapun hingga Allah menurunkan firmanNya tentang kesucian Aisyah. Aisyah kemudian berkata, ‘Segala puji hanya untuk Allah semata, dan bukan pujian untuk seorang pun, juga tidak untuk dirimu.” (HR. Bukhari dalam Kitab Maghazi, hadits nomor 3828).

Setelah peristiwa itu, di tahun keenam Hijriah itu juga, Ummu Ruman wafat karena sakit yang dideritanya. Rasulullah saw. ikut turun ke dalam kuburannya dan berdoa di sana. Beliau berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat wanita bidadari surga, hendaklah melihat Ummu Ruman.”
sumber: Al Hadits

Minggu, 19 Juli 2009

Ketika Ruh Hamba Allah Dicabut

Imam Ahmad dalam Musnad-nya, demikian juga Ibnu Hibban, Abu ‘Awanah Al-Isfirayaini dalam kitab Shahih keduanya, meriwayatkan dari Al-Manhal dari Zadan bin Al-Bara’ bin ‘Azib bahwa ia berkata, “Kami pernah pergi bersama Rasulullah untuk mengantar jenazah. Beliau duduk di atas kuburan dan kami duduk di sebelahnya. Kami diam dan tenang laksana di atas kepala kami terdapat seekor burung. Sambil menguburkan jenazah tersebut, Beliau berkata, “Aku berlindung diri kepada Allah dari siksa kubur.” Beliau mengucapkannya tiga kali.
Selanjutnya Beliau bersabda, “Sesungguhnya orang yang beriman jika akan pindah ke alam akhirat dan meninggalkan dunia, maka para malaikat itu turun kepadanya. Wajah mereka seperti matahari dan setiap dari mereka membawa wewangian dari surga dan kain kafan. Mereka duduk di dekat orang yang beriman sebatas pandangan kemudian malaikat pencabut nyawa duduk di dekat kepalanya dan berkata, “Wahai jiwa yang baik, keluarlah menuju ampunan dan keridhaan Allah.”
Rasulullah kemudian bersabda, “Ruh orang beriman pun keluar dari jasadnya seperti halnya air keluar dari mulut teko. Malaikat pencabut nyawa segera mengambilnya. Ketika ruh orang itu telah berada dalam genggamannya, para malaikat yang lain tidak membiarkan ruh orang beriman itu berada di tangan malaikat pencabut nyawa sekejap mata hingga kemudian mereka mengambilnya dan menaruhnya di atas kain kafan surga dan wewangian tersebut. Dari ruh orang beriman, keluarlah wewangian paling harum yang pernah ada di bumi.”
Kata Rasulullah selanjutnya, “Kemudian para malaikat naik membawa ruh orang beriman dan
setiap kali mereka melewati para malaikat, maka mereka bertanya, “Ruh siapa yang harum ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah si fulan bin fulan,” sembari menyebutkan nama terbaik yang pernah menjadi sebutannya ketika di dunia hingga kemudian mereka berhenti di langit kedua. Mereka minta dibukakan bagi ruh tersebut kemudian dibukakanlah untuknya. Ruh tersebut disambut seluruh makhluk di langit kedua dan mereka mendekatkan ruh tersebut ke langit berikutnya hingga mereka membawa ruh itu tiba di langit di mana Allah berada. Allah kemudian berfirman, “Tuliskan kitab hamba-Ku ini dalam ‘Illiyyin, lalu kembalikanlah ia ke bumi. Sebab, dari bumi itulah Kami menciptakan mereka, ke dalamnya Kami kembalikan mereka, dan darinya pula Kami keluarkan mereka sekali lagi.”
Selanjutnya Rasulullah bersabda, “Dan sesungguhnya orang kafir itu jika meninggal dunia menuju ke akhirat, maka para malaikat turun kepadanya dari langit dengan wajah yang hitam dan membawa kain kafan kasar, lalu duduk di dekatnya sebatas pandangan.
Malaikat pencabut nyawa datang kepadanya dan duduk di dekat kepalanya lantas berkata, “Wahai ruh yang kotor, keluarlah menuju kemurkaan dan kemarahan dari Allah!” Lalu ruhnya berpisah dari jasadnya dan malaikat mencabutnya seperti mencabut besi pembakar dari wol yang basah. Selanjutnya malaikat pencabut nyawa mengambilnya dan jika sudah ia ambil, maka para malaikat yang lain tidak membiarkan ruh tersebut di tangannya sekejap mata hingga kemudian mereka meletakkannya di dalam kain kasar tersebut. Dari padanya keluar bau paling busuk yang pernah ada di muka bumi.
Para malaikat membawanya naik dan setiap kali mereka melewati malaikat, mereka bertanya, “Ruh busuk siapa ini?” Para malaikat menjawab, “Ini adalah si fulan bin fulan,” sembari menyebutkan sejelek-jeleknya nama yang dialamatkan kepadanya ketika di dunia. Ruh itu terus dibawa naik hingga sampai ke langit dunia. Ia meminta agar pintu langit itu dibuka, namun tidak juga dibukakan untuknya.
Kemudian Beliau membacakan firman Allah swt., “Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum.” (Al-A’raf: 40).
Allah swt. kemudian berkata, “Tuliskan kitabnya di Sijjin, di bumi yang terbawah!” Lalu ruh tersebut dilemparkan begitu saja. Selanjutnya Rasulullah membacakan firman Allah, “Barangsiapa menyekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (Al-Hajj: 31) [Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/287 dan 295) dan Abu Dawud (4753)]

Ya Allah berkahilah kami, penuhi jiwa-jiwa kami dengan kecintaan pada-Mu, tentramkan hati kami dengan kerinduan bertemu dengan-Mu... Ya Allah pertemukan kami dengan Rasulullah, para shahabat dan orang-orang yang beriman di tempat terbaik di sisi-Mu... Amin []
sumber:Al Hadits

Minggu, 29 Maret 2009

Vacuum

Terhitung dua bulan lebih dua hari dari terakhir kali posting tulisan. Huff...

Ingetlah apa yang dinyanyikan sobat yang nun jauh di Bandung sana waktu collapse,, "aku masih ada di sini, semua pasti kan berlalu, aku kan slalu bersamamu". Don't be looser if u're right!!

Hohoho...

Kemarin adalah kepayahan yang pantas bertandang di belakang nama sendiri. Kalah, hanya sedikit sentilan dari Allah ternyata terlalu payah.. ga' lagi2 dech.. Janji ya... I promise!! *_*

Janjinya ga' hanya dilihat sendiri tapi diliat banyak orang lho rin..

Yo'a...! Let's come back..!!

Selasa, 27 Januari 2009

Fenomena Nama

Catatan pembuka: Jika ada kesamaan nama tetapi mempunyai maksud yang berbeda, saya mohon maaf, bukan berarti yang dituliskan di sini adalah nama anda jadi sebelum baca, simpan dulu rasa Ge-eRnya ya... ;D Artikel ini banyak menggunakan nama – nama Jawa atau ejaan Jawa, jadi jangan salah logat ya...


Artikel ini muncul dari saat ditanya tentang arti nama meski akhirnya dibohongi (hoho, siapa ya?? Klo baca ini ya syukurlah dan semoga segera minta maaf, he3x). Tapi, sampai akhirnya ikut berpikir juga tentang nama dan terlintaslah niat untuk berbagi. Banyak sekali fenomena yang menarik dan lucu akan seluk plus beluk nama. Apalah arti sebuah nama? WaLah pertanyaan itu tidak pantas ditanyakan oleh anak kampus biru^^. “Yaa penting-lah mas – mbak – dhek,,”. Fungsi utama nama jelaslah sebagai identitas, sampai kapan kita memanggil “e.. si itu, si anu, mbak,, mas,, dhek,, pak biologi, bu matematika de es be..”. Itulah fenomena kebingungan yang sering kita temui saat orang belum mengenal namanya.

Allah secara khusus telah mengajarkan perihal nama – nama kepada manusia dan inilah yang memperkuat kedudukan Nabi Adam as saat Iblis tidak mau bersujud kepada beliau. Peristiwa ini diabadikan dalam Alqur’an dan Allah berfirman, “Dan Allah ajarkan kepada Adam nama – nama semuanya, kemudian ditanyakannya kepada malaikat. Maka Allah berkata: ‘Terangkanlah kepadaku nama – nama benda ini jika sekiranya kamu orang – orang yang benar” (Qs.2: 31). Kemudian para malaikat pun menyerah dan mengakui keunggulan Nabi Adam as atas mereka semua dan mereka kemudia berucap, “Berkata mereka, ‘Maha Suci Engkau! Kami tidak mengetahui melainkan apa – apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Tahu lagi Maha Bijaksana’. Maka Allah berfirman: ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka, nama – nama benda ini!’. Maka setelah Adam memberitahukan tentang nama – nama benda itu, Allah lalu berfirman: ‘Bukankah Kami telah menyatakan kepadamu, bahwa Kami mengetahui perkara – perkara yang ghaib di langit dan di bumi? Bahwa Kami mengetahui apa – apa yang kamu nyatakan dan apa – apa yang kamu sembunyikan’”(Qs.2:32-33). Subhanallah dengan diajarkannya nama – nama oleh Allah, telah mengangkat kedudukan manusia satu derajat lebih tinggi dari pada malaikat.


Berdasarkan analisa jawaban teman – teman ketika ditanya namanya, paling tidak ada tiga hal yang menjadi alasan nama itu diberikan oleh orang tuanya tercinta. Who are they? Pertama, arti nama itu sendiri. Kedua, ada sejarah yang menyebabkan meskipun arti namanya tidak terlalu jelas. Atau yang ketiga adalah harapan orang tua untuk anaknya kelak. Berikut ada beberapa kisah tentang arti dan sejarah nama – nama orang. Ada seorang anak TK di sebuah kota kecil yang tentram saat ditanya namanya, ia menjawab “Lossi”. Tertegun, lalu bertanya lagi nama kepanjangannya, dijawabnya dengan agak sedikit kesusahan “Valentio Lossi”, maksud dari anak kecil itu namanya adalah “Valentino Rossi”. Sejarahnya cukup sederhana, yaitu bapaknya adalah fans berat dari pebalap nomor satu dunia sekarang ini.


Kisah lain, yaitu kata estu dalam bahasa Jawa sering diartikan ‘benar’, tetapi ternyata tidak untuk nama adik teman SMA saya. Estu, nama adiknya, berasal dari kata es adalah huruf S dengan maksud Strata dan tu dari kata “two” bahasa Inggris yang artinya dua. Jika digabung menjadi S2, artinya pada saat itu bapaknya sedang wisuda magister. Ada juga nama – nama yang mempunyai arti indah. Sebutlah dengan nama alfi, dibaliknya berarti seribu. Sejarah singkatnya adalah lahir pada bulan Ramadhan dimana bulan suci itu mempunyai satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, sehingga menjadi pengingat akan bulan Ramadhan dan berharap anaknya mendapatkan malam mulia itu (Lailatul Qadr). Subhanallah... Lain ceritanya dengan nama “Kautsar Rizqi Nursyifa”, sudah bisa teman – teman baca artinya. Kautsar adalah banyak atau melimpah. Jika digabung menjadi semoga menjadi seseorang yang berlimpah rizqi dengan nur yang bermanfaat (obat) untuk semuanya. Pun dengan Lailia Nur Sholeha, yang berarti seorang wanita salehah yang lahir pada malam hari sebagai cahaya bagi umat.


Kemudian arti nama yang lain adalah berdasarkan bulan lahirnya. Misal, Januari menjadi Yanuar, Februari dengan Febrian atau Febriati, Maret dengan Martini, Mei dengan Meita atau Maya, hwehehe... Bulan juni dengan Wahyuni, Juli dengan Yulianti. Agustus bernama Agus atau Agustina, September dengan Septiani, hihi.. Oktober menjadi Oktaria, November dengan Nova/i dan Desember disingkat dengan Desi. Kalau bulan Ramadhan ditambahkan kata Ramadhan/i. Kemudian nama Fitri yang berarti suci dikarenakan lahir pada hari raya Idul Fitri.


Bagaimana jika berdasarkan hari? Ini yang sering digunakan oleh orang – orang Jawa. Yang lahir hari Minggu dinamakan Ngad (dalam bahasa Jawa artinya minggu dari asal kata arab ahad karena lidah orang jawa susah mengucapkan, maka terlafaz menjadi ‘ngad’). Senin menjadi Senen (baca dengan logat Jawa), Selasa – apa ya? maaf penulis belum menemukan, klo ada yang tahu segera contact me ya.. Hari Rabu, ada yang punya nama pak Rebo lahir hari kamis, hehe.. Hari kamis tinggal diubah menjadi Kemis. Hari Jum’at juga belum nemu orangnya, klo hari Sabtu namanya setu. Wah mudah sekali gantinya.. Fenomena lain yang sering dijumpai adalah berdasarkan urutan kelahiran anak, yaitu anak pertama diberi nama Wahid atau Eka/o. Ada lagi bernama Alifian, berasal dari kata ‘alif’ yang berarti urutan pertama dalam huruf Arab dan menandakan sebagai anak pertama. Anak kedua dengan nama Isnani / Isnaeni atau Dwi. Anak ketiga bernama Tri dan urutan keempatnya Catur. Untuk anak terakhir biasanya diakhiri atau ditambahkan dengan Pamungkas.


Sekarang beranjak pada nama yang oleh orang tuanya mempunyai harapan besar. Mendapat e-mail dari kakak kelas eS eM A tentang nama-nama Jawa yang sesungguhnya ada harapan tertentu dari orangtuanya, agar anaknya kelak bisa sesuai yg diharapkan. Cermati aja dan jangan terlalu serius,..^^

Pandai menanam bunga ... Rosman/wati. Pandai memperbaiki mobil ... Kariman. Pandai dalam korespondensi ... Suratman / Surati. Gagah perkasa ... Suparman. Kuat dalam berjalan ... Wakiman. Ahli membuat kue ... Paiman / Paijo / Painem dan Pai - pai yang lain. Pandai berdagang ... Saliman. Pandai melukis ... Saniman. Agar jadi orang kaya ... Sugiman. Suka makan toge goreng ... Togiman. Selalu ketagihan ... Tuman. Selalu sibuk terus ... Bisiman. Biar pinter main game ... Giman. Biar bisa sering cuti ... Sutiman. Biar jadi juragan sate ... Satiman. Biar jadi juragan trasi ... Tarsiman. Biar pinter memecahkan problem ... Sukarman. Biar kalau ujian ndak usah mengulang ... Herman. Biar pinter bikin jus ... Yusman. Biar jadi orang yang berwibawa ... Jaiman . Biar jadi pemain musik ... Basman. Biar pinter berperang ... Warman. Biar jadi orang Sunda ... Maman. Biar lincah seperti monyet ... Hanoman.

Fenomena yang masih disukai masyarakat adalah penggabungan nama kedua orang tua. Misalkan, Parmaningrum dari nama ayah Parman dan nama ibu Ningrum. Beberapa daerah di Indonesia ataupun dunia juga suka menggunakan nama marga, misalkan Yulaikha Tampubolon atau Sastro Hadi Sucipto. Saya sempat berpikir juga dengan salah satu nama yang didasarkan profesi orang tua. Gambarannya, punya ortu guru atau dosen fisika dikasih nama transista dari kata transistor. Anaknya pengajar matematika bernama Integralita derivatika. Anaknya ahli komputer bernama Avira sebagai salah satu jenis antivirus yang artinya harapan agar menjadi orang yang sangat bermanfaat. Catatan jangan dinamai nama – nama virus ya,, meski demen dengan nama Trojan. Hohoo... klo orang statistik, namanya dita katagorika berasal dari kata ‘data kategorik’, klo namanya rejektika berasal dari kata ‘reject’ bisa – bisa anaknya ditolak masyarakat. Hati – hati ya.. Orang – orang kimia bilang anaknya mau dinamai Katalista dari kata ‘katalisator’. Hhmmm, silakan eksplorasi bidang antum wa antuna untuk menciptakan nama – nama indah secantik artinya. Jangan lupa juga dengan nama – nama yang dicontohkan Rasulullah.


Menarik sekali saat mencermati nama – nama orang plus dengan maknanya, bahkan ada pula yang punya hobi unik dengan bertanya nama dan artinya. Panggillah saudaramu dengan nama terbaik yang ia sukai..


Data diperoleh dari koresponden, asumsi dan sumber lain
Jika ada kesamaan nama yang bermakna beda, ini bukanlah sebuah kesengajaan dan itu berarti bukan anda yang saya maksudkan.. PeaCE!!


Senin, 26 Januari 2009

Jikalah...

Jikalah derita akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti dijalani dengan sepedih rasa,
Sedang ketegaran akan lebih indah dikenang nanti

Jikalah kesedihan akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa tidak dinikmati saja,
Jika engkau butuh menangis
Menangislah...
Biarlah air mata dari telaga iman mengalir,
membasahi hati, memutihkannya dan menyejukkan

Jikalah luka dan kecewa akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti dibiarkan meracuni jiwa,
Sedang ketabahan dan kesabaran adalah lebih utama.

Jikalah kebencian dan kemarahan akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti diumbar sepuas jiwa,
Sedang menahan diri adalah lebih berpahala

Jikalah kesalahan akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti tenggelam di dalamnya,
Sedang taubat itu lebih utama

Jikalah harta akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti ingin dikukuhi sendiri,
Sedang kedermawanan justru akan melipat gandakannya

Jikalah cinta akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti ingin memiliki dan selalu bersama,
Sedang memberi akan lebih banyak menuai arti

Jikalah bahagia akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti dirasakan sendiri,
Sedang berbagi akan membuatnya lebih bermakna

Jikalah hidup akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti diisi dengan kesia-siaan belaka,
Sedang begitu banyak kebaikan bisa dicipta

Suatu hari nanti,
Saat semua telah menjadi masa lalu
Aku ingin ada di antara mereka
Yang bertelekan di atas permadani
Sambil bercengkerama dengan tetangganya
Saling bercerita tentang apa yang telah dilakukannya di masa lalu
Hingga mereka mendapatkan singgasananya

*) dari blog tetangga dengan beberapa gubahan sendiri

Menakar Kebermaknaan Diri

Kehidupan telah memberikan sejuta arti dan sejuta kisah. Kehadiran orang – orang di sekitar mengajarkan berbagai hal dan pelajaran. Namun, seberapa berartikah kehadiran diriku di tengah – tengah kalian? Terlalu banyak alasan mengapa hidup ini memberikan sejuta lebih warna, seindah warna – warna cinta dan sekelam warna – warna kekecewaan. Tinggal bagaimana aku menyikapi dan menjalaninya.
Tiada cermin kehidupan yang paling sempurna terkecuali aku dapatkan dari pandangan bening orang. Ketulusan mereka mengingatkanku dan meluruskan kesalahan. Terlalu murah jika hanya dihargai dengan sejuta terima kasih, setiap orang punya cara tersendiri untuk membalasnya, pun juga dengan diriku. Itulah aku memandang keberartian orang lain dalam membersamai aktivitas kehidupanku. Ada hukum aksi – reaksi yang masih berlaku dan ada hukum relativitas yang akan membersamai. Saat aku berikan aksi positif, berjuta reaksi positif kuterima, tetapi yang menjadi masalah adalah telahkah aku pula memberikan reaksi yang lebih baik saat orang lain baik padaku? Ataukah aku telah menerapkan hukum relativitas ketiga dalam membalas kebaikan – kebaikan orang – orang terdekat?

Pengklasifikasian akan keberartian keberadaan diri dalam lingkungan mungkin harus dikaji kembali. Teringat dengan taujih ustadz Taufik dan ustadz Gun2 asal Solo, bahwa ada empat klasifikasi seseorang berdasarkan kemanfaatan dirinya di lingkungannya. Pertama, adanya sangat berada. Artinya, keberadaannya sangat dibutuhkan orang lain dan adanya tidak dapat digantikan orang lain. Kedua, adanya lebih baik berada dimana adanya lebih baik berada di masyarakat tetapi jika ia tidak ada, maka keberadaannya masih bisa digantikan orang lain. Ketiga, keberadaannya boleh berada dan atau boleh tidak berada. Hal ini bermaksud bahwa keberadaannya tidak berpengaruh bagi orang lain dan tidak menambah atau mengurangi keimanan dan kemaslahatan umat. Dalam lingkungannya ia tidak nampak dan cenderung menjadi orang yang biasa – biasa saja. Keempat, adanya seperti tidak berada. Keberadaannya tidak diharapkan orang lain, pun dengan orang – orang yang dianggapnya dekat. Kebolehannya hanya bisa menciptakan dan membuat masalah serta membuat was – was dan rasa takut orang – orang yang ada di sekitarnya akan keberadaannya.

Tidak mampu aku memilih salah satu darinya, hanya orang – orang yang pernah bersama dan bermasyarakat denganku yang dapat menilai dimanakah diriku berada. Apakah aku mampu menjadi matahari, yang kebermanfaatannya dirasakan semua orang dengan segala kerendahan hati tetapi ia tetap bersinar dengan lantang. Ataukah sebagai kelap – kelip bintang yang kadang bersinar, kadang pula meredup tetapi tetap dirindui orang. Mungkin pula selembut air yang mengalir, memberi sejuta makna kehidupan dan tempat orang kembali mencari kehidupan. Atau semalang lilin yang memberikan sinar dalam kegelapan tetapi ia sendiri membakar diri. Ataukah menjadi sesuatu yang keberadaannya tidak diinginkan orang lain. Cukuplah semua menjadi muhasabah tempat kembali untuk menakar sebarapa dekat diriku dengan Rabbku.

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya apabila Allah mencitai seorang hamba, maka dia memanggil Jibril seraya berfirman, "Sesungguhnya Aku mencintai Fulan, maka cintailah dia". Beliau bersabda, "Maka Jibril mencintainya. Kemudian Jibril memanggil (penghuni langit) di langit, lalu berkata, "Sesungguhnya Allah mencintai Fulan, maka cintailah ia". Maka penghuni langit mencintainya. Beliau bersabda, "Kemudian di bumi ia diterima". Apabila Allah membenci hamba, maka Dia memanggil Jibril seraya berfirman, "Sesungguhnya Aku membenci Fulan, maka bencilah ia". Lalu ia di benci oleh Jibril. Kemudian Jibril memanggil penghuni langit, "Sesungguhnya Allah membenci Fulan, maka bencilah kamu sekalian terhadapnya". Beliau bersabda, "Kemudian ia di bumi dibenci oleh orang-orang" (Hadits ditakhrij oleh Imam Muslim)

“Setiap diri kita berkewajiban menanam dan mempersubur benih cinta dan mencintai di kalangan sesama anggota serta memperkuat persaudaraan karena Allah. Agar setiap hati dan jiwa menyatu dalam ikatan aqidah. Karena aqidah adalah ikatan yang paling teguh dan bernilai. Perlu disadari bahwa persatuan adalah lambang kekuatan. Tidak akan ada kesatuan tanpa cinta. Cinta yang paling rendah adalah kelapangan dada dan berbaik sangka kepada saudaranya, sedangkan derajat yang paling tinggi adalah mengutamakan saudaranya daripada dirinya sendiri” (Musthafa Mansyhur)

Sekiranya engkaulah yang menjadi orang yang paling bermakna bagi diriku.. Beri aku ilmu tentang diriku...[]

Senin, 05 Januari 2009

Menjadi Lintang

Untuk hatiku yang pernah terluka
Untuk hatiku yang pernah kecewa

Karena lalaiku
Karena futurku

Untuk setiap hati yang pernah terluka
Untuk setiap hati yang pernah kecewa

Karena lidahku
Karena sikapku
Karena egoku

Rabbi..
Izinkan aku kembali kepada-Mu
dengan segenap diri dan jiwaku...

Agar tidak menjadi lilin
Agar tidak menjadi benalu
Tapi, menjadi lintang
yang bersinar dan menyinari kelam

Sabtu, 03 Januari 2009

Rupiah Yang Terbuang

Kepingan rupiah itu dibiarkan jatuh dan hanya butuh satu detik untuk meliriknya dan memutuskan tidak mengambilnya kembali. Mungkin itu yang sering dilakukan oleh orang-orang saat mendapati uang recehannya jatuh, mengikhlaskan begitu saja tanpa meninggalkan hukum yang jelas atasnya. Baginya seratus, dua ratus atau kepingan uang ratusan yang lain tidak berarti, tetapi mereka melupakan nilainya di mata seorang pengemis jalanan.

Anak-anak kecil “genjrang-genjreng” menyanyi dengan suara serak diusirnya secara halus. Padahal, mereka sadar bahwa bukan uang puluhan ribuan atau ratusan ribu yang orang-orang jalanan cari dan atau meminta. Tetapi, sekedar uang recehan yang tercecer di saku celana para pejalan kaki, pengendara motor atau orang lain yang ditakdirkan rezeki berlebih dari Tuhan. Tidak bermimpi mereka mendapatkan uang banyak-banyak karena mereka adalah manusia biasa yang bisa berpikir atas ketidakberartian pekerjaan yang mereka jalani.

Uang recehan-recehan yang tercecer itu berharap tertimbun di saku celana yang kempes. Tetapi, orang-orang itu terus berpikir bahwa dengan memberi uang padanya akan membuat orang-orang miskin menjadi malas. Begitu sempit pemikiran orang-orang yang mengaku berpendidikan tinggi itu. Siapa yang ingin menjadi pengemis, pemulung, atau berlabel miskin? Atau mereka mengeluh karena banyaknya orang-orang miskin yang hidup di dunia ini. Tetapi, mereka juga harus ingat bahwa orang-orang miskin tidak pernah menyesal dengan pertambahan jumlah orang kaya dadakan.

Bukankah Tuhan telah bertindak adil, dijadikan oleh-Nya manusia-manusia, ada yang kaya dan ada yang miskin? Tuhan hanya ingin melihat hamba-hamba-Nya mampu bersyukur dengan berbagi. Kewajiban yang dilupakan dengan sengaja. Mereka lebih suka menggelengkan kepala (menolak, pen) daripada memberi sekeping atau dua keping uang receh untuk menyambung kehidupan orang-orang miskin. Mereka juga tidak sadar bahwa orang-orang miskin itu kemarin telah melihat fotonya terpampang di koran yang mereka jual. Dengan sedikit kemampuan mengeja huruf sebelum putus sekolah, tulisan-tulisan koran telah mengabarkan kepadanya bahwa mereka sangat peduli dengan kemiskinan. Ah, begitu sombongnya mereka terhadap diri mereka sendiri.

Orang miskin tidak identik dengan mengemis atau meminta, tetapi diantara orang miskin itu ada yang terus berusaha bekerja tanpa meminta belas kasihan orang. Hanya saja penghasilan mereka tidak mampu menyekolahkan anak-anak hingga perguruan tinggi atau bahkan sekadar membelikan susu untuk balita dalam dekapannya. Entah mengapa barang dagangannya hanya terjual sedikit padahal sudah ada pelayanan mengantar hingga di hadapannya? Tetapi, kendaraan-kendaraan yang mereka tumpangi lebih nyaman berhenti di agen koran besar untuk membeli koran serupa. Selisih seratus hingga dua ratus perak saja mereka kejar. Lagi-lagi anak-anak itu termangu dalam diam dan menatap lekat-lekat kendaraan yang lalu lalang sambil berbisik, ”kali ini gagal lagi”.

Niat kebaikan dalam hati manusia-manusia itu hanya mampu ditimbun hingga menggunung. Padahal, setiap detik waktu berjalan orang-orang miskin terus berpikir akan ketidakpastian nasib yang akan dijalani esok hari. Tidak adakah sedikit tindakan nyata yang bisa mereka lakukan untuk penuhi tuntutan naluri kemanusiaannya? Tidakkah mereka ingin saudara-saudaranya bangkit dari jeratan kemiskinan? Atau mereka tidak tahu apa yang bisa dan harus mereka lakukan serta hanya membiarkan uang recehannya jatuh di pinggir-pinggir jalan? Orang-orang miskin itu hanya menatap heran dan melirik sekilas recehan-recehan yang tercecer. Andaikan uang itu terasa halal baginya, pasti sudah bisa termanfaatkan untuk hidup. Mereka berlalu dan segera bersemangat kembali menjemput rezeki Tuhan, menjual suara, koran, jasa mengelap kendaraan atau memilih dan memilah sampah-sampah.

Jika saja setiap orang yang ingin mencari berita aktual dan terbaru membeli koran dari anak-anak jalanan, bukankah itu satu tindakan kecil untuk mengurangi tingkat kemiskinan? Setelah usai baca, mereka berikan koran-koran bekas pada pemulung untuk dijual kembali tanpa meminta imbalan. Bukankah hal ini dapat pula dikata, uang yang mereka keluarkan untuk membeli koran telah berlipat ganda menyalurkan rezeki Tuhan pada orang lain?

Jika saja uang recehan, sisa jasa parkir, mereka berikan pada salah satu dari pengemis, pengamen jalanan atau jasa pengelap kendaraan, bukankah itu juga melegakan hati bahwa mereka akan makan hari ini? Merentas kemiskinan tidak harus dilakukan dengan konsep-konsep yang besar karena pada akhirnya hanya sekedar menjadi janji, ucapan atau tulisan di media massa saja. Bertindak akan menjadi lebih terasa sebagai kontribusi nyata daripada harus menunggu tiba masanya merealisasikan konsep pemberantasan kemiskinan secara bersama-sama. Meskipun sedikit yang bisa dilakukan, tidak ada peluang untuk berpikir berulang kali mengurangi tingkat kemiskinan negeri ini.