Kamis, 29 Desember 2011

Golden Age, Bagaimana Mendidiknya?

Kita pasti sudah tidak asing lagi dengan istilah dari psikologi, "golden age", yaitu usia atau masa - masa dimana seorang manusia mudah menghafalkan dan menangkap suatu hal yang baru. Para psikolog memberikan range usia golden age adalah pada usia balita, khususnya usia tiga tahun. Tulisan ini terinspirasi dari adik yang aku ajarin baca iqra' yang berusia tiga tahun. Ketika ditawari mengajar anak usia tiga tahun, sempat juga tercenung, tiga tahun?? Akhirnya diterima dengan pertimbangan utama sebagai 'latihan', hahay... Kalau daurah pran*kah itu terlalu banyak teori menurut saya, tapi kalau mengajar adiknya kan langsung learning by doing.. Hoho.. Celetukan para akhwat ketika menerima undangan daurah pran*kah dari sang mr, "Mba, aq ga butuh daurah pran*kah, tapi aq butuh learning by doing aja.. Jadi, butuh yang nyata". ckckck, tapi itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang serius, mereka biasanya hanya bercanda. ^_____^

Oke, bukan daurah yang menjadi bahasan utama, tetapi anak yang berada dalam range waktu 'golden age'. Kalau itu adalah waktu - waktu emasnya seseorang berada di tingkat kecerdasan paling tinggi, tentu kita sebagai orang tua dan calon orang tua tidak akan menyia - nyiakannya. Selain kita mengejar anak - anak tumbuh menjadi seorang yang sangat pintar, tentu juga sangat menyayangkan jika itu terlewatkan begitu saja. Lalu yang jadi pertanyaan adalah bagaimana mendidik si golden age yang tepat?? Kita pasti menyadari (jangan pura - pura lupa ya..) bahwa golden age adalah usia dimana anak - anak memiliki kecenderungan dan kesenangan menghabiskan waktunya dengan bermain, sangat sulit sekali untuk diajak belajar. Ada orang tua yang sangat mempressure anak - anaknya buat belajar, tetapi ada juga yang melewatkan usia emas ini dengan membiarkan anaknya bermain tanpa ada makna. Jadi, kita butuh penyikapan di tengah - tengah antara keduanya. Yaitu, mengelola usia tersebut tanpa melupakan masa bermainnya.

Saya akan cerita sedikit tentang adik iqra' saya, sebut saja namanya ichal. Seorang anak usia tiga tahun yang kira -  kira selama dua bulan ini sudah memasuki playgroup milik seorang trainer nasional terkenal di Jogja. Anaknya sangat cerdas dan mudah sekali menangkap apa yang sudah saya ajarkan. Dalam waktu satu jam dia bisa menangkap dan menghafal enam huruf baru. Saya pikir itu sesuatu yang sangat baik untuk anak seusianya dan dia terus ingat. Berarti kesimpulan pertama adalah bahwa golden age itu benar ada pada usia tiga tahun. Pengenalan keenam huruf itu pada saat pertemuan pertama, kalau tidak salah dari huruf 'da' sampai 'sya' karena huruf sebelumnya sudah ia hafalkan. Pada pertemuan pertama itulah saya menganggap bahwa saya telah under-estimate dengan ichal. Awalnya saya berpikir bahwa saya akan kesusahan untuk mengajarinya iqra' karena usia tiga tahun itu adalah masa bermain dan nanti saya akan disibukkan untuk mengajaknya membaca di tengah - tengah saat dia bermain. Ya, anggapan itu salah. Pertemuan pertama dilalui dengan sangat lancar bahkan ichal tak rewel sedikitpun dan sangat penurut. "Anak yang baik dan pintar" batinku.

Pertemuan kedua aku sangat bersemangat untuk datang ke rumah ichal karena hanya dengan empat kali pertemuan dia akan berhasil mengkhatamkan iqra' satu. Waah hebat juga ya, setelah itu dia akan segera beranjak ke iqra' dua dan seterusnya, bisa jadi dengan segala tantangan yang akan dilalui maksimal usia lima tahun dia akan bisa membaca Alqur'an. Subhanallooh.. Itu perhitungan kasarku dan dengan simpelnya aku berpikir oh berarti seperti ini cara mendidik jundi/ahku nanti. Krik..krik..krik... Tapi, kali ini aku over-estimate. Saat aku mengajar ichal, baru dua huruf dia minta untuk berhenti bahkan huruf - huruf yang dia baca banyak yang salah. Bukan karena dia lupa dengan huruf - huruf yang telah dibaca, tetapi dia tidak berkonsentrasi. Gawat mood-nya belajar hilang, kali ini aku harus bersabar dengan ekstra untuk mengajaknya belajar. Inilah yang kusiapkan dari awal dan tidak kutemui pada pertemuan pertama. Berkali - kali sampai 'aki'-nya (baca: eyang kakung) ikut membantu saya membujuk ichal biar dia mau belajar, tetapi usaha itu sia - sia. Meski saya tidak berhasil memintanya untuk belajar lagi, dia kemudian mengambil buku cerita. Kemudian saya memintanya untuk memilih buku cerita yang paling dia suka dan diambilnya satu buku bersampul merah. Dengan niat akan membacakannya untuk ichal, aku baca judul ceritanya 'Aku Tidak Akan Ngompol Lagi' dan ichal menirukannya. Setelah itu aku buka halaman pertama saat mau membaca tiba - tiba ichal bercerita hampir mirip dengan halaman pertama. Hal itu terjadi sampai cerita selesai dan yang ia sampaikan benar - benar apa yang dia hafal dari dalam bukunya. Ya Alloh, cerdasnya anak ini.. Finally, hari itu ichal hanya nambah dua huruf. Mungkin hari ketiga dia akan lebih baik.

Hari ini adalah hari ketiga, dengan langkah gontai karena kesehatan sedang terganggu, saya tetap menancapkan gas untuk pergi ke rumah ichal, toh juga hanya satu jam. Sesampainya di sana ternyata ichal masih belum mood belajar, terlihat dia sangat bosan dan hanya mendapat satu huruf dia langsung bermain ke tenda - tendaan dan mengambil mobilnya. Setelah sedikit dipaksa dan dibujuk rayu akhirnya berhasil menamatkan satu huruf lagi. Tetapi cukup sampai di situ, ichal tak mau baca lagi.

Saat ini ichal sedang libur sekolah playgroup selama dua pekan dan pekan ini yang terakhir. Agar ichal tidak hanya bermain di rumah saja, ibunya meminta saya untuk mengajarinya iqra' karena ibunya bekerja di luar rumah dari pagi sampai sore. Ichal setiap harinya ditemani aki dan satu lagi seorang wanita paruh baya, saya kurang begitu tahu beliau siapa. Keluarganya sangat baik dan sangat sayang sekali dengan si endut 'ichal' ^____^ Pekan depan karena sudah masuk sekolah, saya diminta ngajarin lagi setiap sabtu karena sekolah dari senin sampai jum'at. Yup, mengisi liburnya ichal agar tidak tersia - siakan untuk bermain saja. Begitulah pola didik ibunya yang positif untuk mengelola golden age anaknya terkasih...


Opini Singkat nan Sederhana

Seorang anak kecil berusia balita sangat sulit untuk diajak duduk manis di depan meja dan dihadapkan buku untuk belajar. Interest-nya untuk mengikuti cara tersebut bisa jadi sesekali waktu (baca: tidak rutin). Keyakinan saya, ketertarikannya untuk belajar setiap harinya itu ada hanya saja tidak menentu waktunya. Namun, kita bisa juga membangun rutinitas anak kita mulai dari kecil bahkan memang harus kita bangun dari kecil kebiasaan - kebiasaan yang positif. Ini akan sangat baik dilakukan oleh seorang ibu karena dialah yang menjadi madrasah pertama dan yang paling tahu anaknya. Selain itu, tali fitrah seorang ibu dengan anaknya sangat kuat, begitulah Alloh menciptakan. Kesimpulan kedua: peran ibu dalam pendidikan anak di masa golden age adalah sangat penting. Sehingga, inilah kebutuhan seorang ibu untuk selalu membersamai sang buah hati.

Kedua, pembangunan ketertarikan anak untuk belajar itu tidak harus memaksa anak duduk di depan meja, tetapi bisa jadi diajak sambil bermain. Misalnya seorang ibu bermain tenda - tendaan dan memangku anaknya sambil membaca iqra', atau cara kasih sayang lain yang tidak melupakan dua aspek, yaitu belajar dan bermain. Kalau kita ingat profesor cilik penghafal Alqur'an dari kawasan Timur Tengah itu diceritakan bahwa dia mampu menghafal Alqur'an karena selalu membersamai orang tuanya saat mengajar Alqur'an. Tanpa disadari oleh orang tuanya, kebiasaan anaknya mendengarkan ibunya membaca Alqur'an bersama murid - muridnya itu direkam rapi dalam simpul - simpul otak sang anak. Sehingga, golden age adalah masa emas seorang anak menghafal sesuatu yang baru ia dengar dan pada usia inilah ingatannya sangat kuat sampai tua nanti. Jadi, mengajak belajar anak sudah tentu tidak dilakukan dengan cara yang kaku. Setiap harinya anak sudah diminta duduk manis di sekolahan dan di rumah masih diminta duduk manis lagi mendengarkan pelajaran yang lain. Ini akan membuat anak sangat bosan dan menjadikan bermain sebagai tempat pelarian yang bisa - bisa menjadi sulit untuk dikendalikan. Menjadi seorang ibu harus pandai - pandai memperhitungkan waktu anaknya untuk dibuatnya menjadi aktivitas rutin yang bermanfaat tanpa membuat anak merasa bosan dan terbebani.

Sepertinya itu sudah cukup karena saya sendiri juga belum berkeluarga, hehe berani - beraninya... Hanya ingin mengambil pelajaran kog dari daurah pran*kah learning by doing yang saya ambil sendiri. Tentu belajar dari kondisi realita sangatlah penting, tetapi saya juga tidak lupa bahwa de ichal hanya merupakan satu contoh sifat yang saya temui dari ribuan sifat anak - anak. Belum tentu pula buah hati saya nanti seperti ichal, tetapi sekiranya ini bisa menjadi pelajaran buat saya untuk 'memantaskan diri' menjadi seorang ibu.. ^_____________________^ [malu beud.. :p]


*lepas dhuha menjelang dzuhur di hari jum'at penuh keberkahan Alloh
Ya Alloh, rahmatilah kami hari ini...
Siang ini dua cintaku akan berangkat ke Tangerang untuk menghadiri undangan walimahan anak pertama om, semoga lancar perjalanannya, have a nice trip... ^-^
Barakallohu lakuma wabaraka 'alaykuma wajama'a bayna kuma fii khoir... Amiin.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Postingannya yang menarik.
*lho?

yap, mungkin tercengang ketika harus ngajari anak balita usia tiga tahun mengaji. Mengingat seusia mereka sangat mudah beradaptasi dengan dunia bermain, jadi agak terasa susah-susah gampang tapi menyenangkan.

sepertinya bagus bila kelak mengajari anak-anak sejak masih dalam kandungan. dan bisa jadi akan dapat dibina menjadi generasi robbani laiknya seperti bocah ini http://www.youtube.com/watch?v=naBhoShZZ9A&feature=player_embedded.

aamiin

Rina Dewi Mayasari mengatakan...

yap benar2 tercengang di awal, "apaa aku akan mengajari anak sekecil ini? bisa nggak ya..bisa nggak ya??" itulah pertanyaan yang menggelayut. Tapi, ternyata tidak sesusah yang dibayangkan karena dari anaknya sendiri cerdas...

Yup insya Alloh jika Alloh nanti mengizinkan menitipkan rdm Jr. hoho

*maaf lama ga buka blog dan baru membalas komentar sekarang.hehe