Minggu, 25 September 2011

Umurnya Kira - Kira Masih Belasan Tahun

Siang itu udara kota Solo sangat panas seperti waktu - waktu sebelumnya. Panasnya Solo mungkin setengah lebih panas dari Jogja. Saat tengah terengah - engah dengan nafas - nafas pendek setelah jalan kaki dari stasiun hingga pertigaan Gilingan (nama tempat di Solo, pen), bus yang aku tunggu belum kunjung datang. Sembari menata nafas, kira - kira sepuluh menit kemudian bus yang akan membawaku pulang akhirnya datang juga. Sepuluh menit terasa sepuluh hari, berjalan menyusuri rel kereta api di tengah terik matahari, dan berjalan di pinggiran kota yang jaraknya kira - kira satu kilo. "Ah ga masalah, daripada naik bus dan harus oper, mendingan sekali jalan. Paling butuh 15 menit.." pikirku.

Entah mungkin saking lelahnya, bus sederhana itu terlihat megah seketika di mataku. Mungkin layaknya kereta kuda yang sedang menjemput tuannya [alaah sesuatu banget..]. Lantas aku segera naik dan di dalamnya seolah bus ini menawarkan sofa indah yang siap menopang tubuh yang hampir roboh. Busnya luang tidak banyak penumpang, sehingga aku seperti pemilik bus yang bebas memilih jajaran sofa - sofa. Aku berjalan ke tengah menghindari kepulan asap rokok laki - laki tua yang duduk di barisan belakang. Sontak aku langsung menjatuhkan tubuhku, ambruk di atas sofa terpilih. "Alhamdulillaah leganya... huft..." menarik nafas dalam - dalam.

Perjalananku kira - kira satu setengah jam lagi, maklumlah naik angkutan umum harus bersabar. Jalannya layaknya putri Solo yang sedang menahan lapar, sesekali berhenti untuk menunggu penumpang yang kita tidak tahu kapan datang. Beberapa saat kemudian para pengamen datang silih berganti. Pendengaranku sepertinya terganggu dengan nyanyian mereka, "aku butuh kesunyian sekarang!" batinku berteriak tetapi mereka tidak mendengar. "Ini bukan bus milik pribadi sist jadi bersabarlah..." ujar batinku lagi menenangkan diri. Ya bersabarlah, bersabar dalam waktu satu jam lebih untuk menunggu sambutan kelapa muda di rumah yang sudah aku pesan jauh - jauh hari layaknya wanita sedang 'nyidam'. Hari - hari kemarin banyak yang harus aku selesaikan mengejar waktu,  dan ujung - ujungnya pasti akan terlintas makanan - makanan yang harus dipenuhi, "ah dasar nafsu..".

Beberapa pengamen tak kuhiraukan kehadirannya, pikiranku melayang dan semua berebut minta  jatah untuk dipikirkan. Beberapa saat kemudian dua orang masuk ke dalam bus. Bukan penumpang, tapi pengamen lagi. Awalnya aku masih mengabaikan dan tidak menoleh sedikitpun ke belakang. Setelah mendengar mereka mulai memetik gitar dan menyanyikan lagu, sang penyanyi berdiri tepat di depan sebelah kiri kursi yang aku duduki. Melihat penyanyi itu aku terus memperhatikannya dan mendengarkan lagunya. "Ck... lagu pop Indonesia yang tengah populer dan ga bermutu" batinku.

Aku adalah orang yang ketika melihat sesuatu membuatku tertarik, membuatku penasaran, dan sesuatu yang menurutku aneh, maka aku akan terus memperhatikan tingkah orang itu sampai aku berpikir dan mendapatkan kesimpulan atas apa yang aku pikirkan. Tak jarang orang yang aku perhatikan sampai melihatku [duuh malu2in..]. Penyanyi itu membuatku tercenung, seorang gadis belasan tahun, kira - kira kelas tiga SMA menyanyikan lagu dengan semangat sambil tertawa  dengan temannya yang sedang memetik gitar. Celana jeans selutut membalut press body, memakai jaket kaos warna abu - abu yang dilipatnya sampai siku, rambutnya panjang diikat separuh, kulitnya sedikit hitam karena debu dan cahaya matahari. Sedangkan temannya laki - laki berambut acak cat pirang, memakai anting kecil di telinga kanan,  ikut menyanyi sambil terus memetik gitar. Pakaiannya cukup kusam dengan stelan celana jeans panjang warna biru laut.

Aku terus memandangi si gadis itu, bukan melihat wajahnya tetapi hanya memandang ke arahnya sambil berpikir, tepatnya terus memperhatikan kedua orang itu. Aku yakin dia masih belasan tahun, tetapi apa yang dia pikirkan untuk menyambung hidup? Kenapa dia mau bergaul dengan seorang lelaki yang bertampang dan berpenampilan preman? Mungkin ini hanya pikiran sesaat, tetapi aku terus saja berpikir. "Siapakah yang akan mengajaknya mengaji?" gumamku dalam hati. Lagunya pun berhenti dan ia berlalu turun bersama teman laki - lakinya itu sambil terus tertawa sepanjang perjalanannya.

Jika aku mau membangun negeri, harus kumulai darimana? Sontak muncul kembali keinginan membangun LSM pemberdayaan dan perlindungan wanita yang jauh dari kaum feminisme. Betapa aku ingin dihargai dan menghargai sesama wanita. Siapa yang mau menjadi pengamen apalagi seorang kernek angkutan umum. Bekerja bersama laki - laki berpenampilan preman, bangga dengan penampilan 'gaul'nya, dan mengamen di atas bus sementara batinnya menangis menanggung malu. Namun, mengelola dan memelihara kaum miskin apalagi yang sudah terbiasa meminta - minta atau mengamen di jalan sangatlah sulit. Mereka sudah terbiasa hidup mendapatkan uang recehan secara instan dari orang - orang di jalan. Mengajaknya bekerja dan belajar akan membuatnya merasa waktunya terbuang sia - sia. 

Bangsa kita kaya, tetapi kaya orang miskin, kaya pengamen, kaya peminta - minta, dan kaya dengan orang - orang yang tidak peduli dengan lingkungan. Yang penting keluargaku kenyang, anak istriku bisa tertawa lebar. Yang penting aku dan keluargaku ngaji, ilmuku belum cukup untuk dibagikan ke orang lain. Nikmati sajalah hidup dan surgamu sendiri dan jangan berbagi jika kau tak ingin memuliakan wanita - wanita lain yang hidup di pinggir - pinggir jalan... Untung si gadis itu pengamen dan bukan bekerja dalam komunitas maksiat dimana seorang wanita sangat mudah dan instan mendapatkan uang tetapi sesuatu yang berharga dari dirinya harus direlakan, yaitu kehormatan... Na'udzubillaah...

Salam untuk wanita - wanita hebat, semoga kita senantiasa dilindungi oleh Alloh dan dipanggil Alloh untuk melindungi teman - teman kita menuju kesyukuran menjadi seorang wanita. Karena kita istimewa... :)

*subuh dan mataku sulit terpejam 
4th room

Tidak ada komentar: