Selasa, 05 Juli 2011

~ Qadhaya Asasiyah Fiid Da’wah ~

Ini sebenarnya akan digunakan untuk proyek buletin yang dikerjain bareng temen - temen, tapi ya sudahlah saya posting saja.. Untuk obat kelelahan.. :D Jadi, nanti kalau ketemu dengan buletin yang tersebar di kawasan kampus dan kembali membacanya, semoga memperdalam keilmuannya... :)

Tutur tokoh ini menghadirkan beberapa tangkai pesan ustadz Abu Ridho saat berkunjung ke Masjid Kampus UGM dalam kajian akbar beberapa waktu yang lalu. Bagi seorang kader dakwah, bahasan ‘Qadhaya Asasiyah Fiid Da’wah’ hampir sering terdengar dan membahasnya, yaitu isu – isu dakwah yang mendasar. Inilah kebutuhan dan kepentingan kita sebagai muslim dan sebagai seorang da’i.
Sebelum jauh kita membahas terkait qadhaya asasiyah dakwah, kita akan memulainya dengan bahasan perjalanan penciptaan manusia, dimana oleh para filosof islam dilukiskan sebagai era non eksistensi, yaitu ketika kita belum ada wujudnya, tetapi Alloh telah mendesain kita menjadi ‘manusia’. Pada masa itu kita ditanya oleh Alloh, “Bukankah Aku ini Rabb-mu?”. Semua menjawab, “Benar, dan kami menyaksikannya”. Dari sekelumit dialog tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa iman itu sesungguhnya melekat dalam diri manusia sejak masa penciptaannya. Secara fitrah manusia telah berikrar bahwa ia percaya kepada Alloh, bertuhan dan bersyahadat. Jika dalam perjalanannya banyak yang menyimpang, maka hal itu merupakan bagian dari proses perjalanan. Demikian Alloh menjelaskan kepada kita bahwa iman itu adalah sesuatu yang fitri.
Babak penciptaan selanjutnya adalah konsekuensi pengakuan Alloh sebagai Rabb, yaitu implikasi iman. Artinya, pembebanan atas pembenaran yang berkaitan dengan pernyataan syahadat. Gambaran sederhananya jika kita sudah memilih, mengakui, bahkan melantik si A sebagai kepala negara, maka ada konsekuensi pembebanan terhadap kita, antara lain segala peraturan yang ia buat harus kita taati. Demikian pula berlaku pada Alloh sebagai kepala negara bumi dan langit beserta seluruh isinya, dimana kita semua merupakan makhluk mukallaf atau mahluk yang terbebani.
‘Beban’ apa yang dimaksud di sini? Beban itu termaktub di dalam alqur’an dimana Alloh berfirman, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.” (Qs. Al Baqarah: 30). Itulah beban kita, beban yang pernah ditawarkan kepada gunung, langit, bahkan para malaikat. Semua menolaknya, tetapi kita dengan penuh keyakinan menerimanya.
Dari sepanjang perjalanan penciptaan manusia tersebut dapat kita tarik benang merah bahwa amanah manusia itu ada dua macam, yaitu amanah ibadah dan amanah risalah. Amanah ibadah adalah konsekuensi penghambaan diri kita kepada Alloh. “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. Sedangkan, amanah risalah adalah posisi kita sebagai khalifah untuk memakmurkan bumi atau membangun peradaban manusia.
Dua amanah itulah yang sesungguhnya menjadi qadhaya asasiyah di dalam dakwah. Intinya adalah tegaknya kalimat Laa ilaha illallah atau memakmurkan muka bumi ini dengan syari’at Alloh. Jadi, apapun yang kita anjurkan, ajarkan, dan perjuangkan itu adalah membentuk manusia - manusia yang mampu memikul dua amanah, amanah beribadah dengan baik dan juga amanah berkontribusi membangun  peradaban dengan baik. Qadhaya asasiyah harus menjadi prioritas dakwah sampai kapanpun, sehingga isu – isu selainnya hanyalah penunjang perangkat utama kita.
Mengapa kalimat tauhid menjadi qadhaya asasiyah dalam dakwah? Tidak lain dan tidaklah bukan karena sering kali kita belum tuntas atau kecolongan dalam hal keimanan, syahadat, dan tauhid di berbagai sektor. Tidak perlu jauh – jauh kita mengambil contoh, jika kita sedang sakit atau menderita sekali atau terancam bahaya, maka dalam kondisi itu kita merasakan kehadiran Alloh yang sangat dekat. Namun, jika kita sudah sembuh, bahagia, dan terlepas dari bahaya, maka seringkali kita merasa biasa - biasa saja dan bahkan kurang merasakan kehadiran Alloh. Inilah ironi – ironi yang masih banyak kita jumpai di kalangan manusia, terlebih di zaman modern ini sering kali kita merasa yang paling kuat dengan dalil - dalil ilmu. Isu sentral dakwah inilah yang harus selalu menjadi dasar pijakan kita untuk diprioritaskan dalam mengajak orang - orang memahami dan mendalami segala konsekuensi makna syahadat.
Oleh karena itu, isu mendasar kalimat tauhid tidak bisa ditinggalkan dan harus menjadi mainstream tugas dakwah di sektor manapun. Dalam bahasa lain, tugas utama kita dalam dakwah serta tugas yang sudah kita sepakati dalam ikrar kita kepada Alloh adalah tegaknya tauhid dan semua berakar kepadanya. Karena dari hal mendasar inilah yang akan memberikan efek pada kiprah - kiprah dakwah yang selalu lekat dengan tauhid. [rdm]

-pondok Nabila-
tengah malam hingga tengah hari karena idealisme dalam menulis
-___-" tinggal 1,5 watt...

Tidak ada komentar: