Senin, 26 Januari 2009

Menakar Kebermaknaan Diri

Kehidupan telah memberikan sejuta arti dan sejuta kisah. Kehadiran orang – orang di sekitar mengajarkan berbagai hal dan pelajaran. Namun, seberapa berartikah kehadiran diriku di tengah – tengah kalian? Terlalu banyak alasan mengapa hidup ini memberikan sejuta lebih warna, seindah warna – warna cinta dan sekelam warna – warna kekecewaan. Tinggal bagaimana aku menyikapi dan menjalaninya.
Tiada cermin kehidupan yang paling sempurna terkecuali aku dapatkan dari pandangan bening orang. Ketulusan mereka mengingatkanku dan meluruskan kesalahan. Terlalu murah jika hanya dihargai dengan sejuta terima kasih, setiap orang punya cara tersendiri untuk membalasnya, pun juga dengan diriku. Itulah aku memandang keberartian orang lain dalam membersamai aktivitas kehidupanku. Ada hukum aksi – reaksi yang masih berlaku dan ada hukum relativitas yang akan membersamai. Saat aku berikan aksi positif, berjuta reaksi positif kuterima, tetapi yang menjadi masalah adalah telahkah aku pula memberikan reaksi yang lebih baik saat orang lain baik padaku? Ataukah aku telah menerapkan hukum relativitas ketiga dalam membalas kebaikan – kebaikan orang – orang terdekat?

Pengklasifikasian akan keberartian keberadaan diri dalam lingkungan mungkin harus dikaji kembali. Teringat dengan taujih ustadz Taufik dan ustadz Gun2 asal Solo, bahwa ada empat klasifikasi seseorang berdasarkan kemanfaatan dirinya di lingkungannya. Pertama, adanya sangat berada. Artinya, keberadaannya sangat dibutuhkan orang lain dan adanya tidak dapat digantikan orang lain. Kedua, adanya lebih baik berada dimana adanya lebih baik berada di masyarakat tetapi jika ia tidak ada, maka keberadaannya masih bisa digantikan orang lain. Ketiga, keberadaannya boleh berada dan atau boleh tidak berada. Hal ini bermaksud bahwa keberadaannya tidak berpengaruh bagi orang lain dan tidak menambah atau mengurangi keimanan dan kemaslahatan umat. Dalam lingkungannya ia tidak nampak dan cenderung menjadi orang yang biasa – biasa saja. Keempat, adanya seperti tidak berada. Keberadaannya tidak diharapkan orang lain, pun dengan orang – orang yang dianggapnya dekat. Kebolehannya hanya bisa menciptakan dan membuat masalah serta membuat was – was dan rasa takut orang – orang yang ada di sekitarnya akan keberadaannya.

Tidak mampu aku memilih salah satu darinya, hanya orang – orang yang pernah bersama dan bermasyarakat denganku yang dapat menilai dimanakah diriku berada. Apakah aku mampu menjadi matahari, yang kebermanfaatannya dirasakan semua orang dengan segala kerendahan hati tetapi ia tetap bersinar dengan lantang. Ataukah sebagai kelap – kelip bintang yang kadang bersinar, kadang pula meredup tetapi tetap dirindui orang. Mungkin pula selembut air yang mengalir, memberi sejuta makna kehidupan dan tempat orang kembali mencari kehidupan. Atau semalang lilin yang memberikan sinar dalam kegelapan tetapi ia sendiri membakar diri. Ataukah menjadi sesuatu yang keberadaannya tidak diinginkan orang lain. Cukuplah semua menjadi muhasabah tempat kembali untuk menakar sebarapa dekat diriku dengan Rabbku.

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya apabila Allah mencitai seorang hamba, maka dia memanggil Jibril seraya berfirman, "Sesungguhnya Aku mencintai Fulan, maka cintailah dia". Beliau bersabda, "Maka Jibril mencintainya. Kemudian Jibril memanggil (penghuni langit) di langit, lalu berkata, "Sesungguhnya Allah mencintai Fulan, maka cintailah ia". Maka penghuni langit mencintainya. Beliau bersabda, "Kemudian di bumi ia diterima". Apabila Allah membenci hamba, maka Dia memanggil Jibril seraya berfirman, "Sesungguhnya Aku membenci Fulan, maka bencilah ia". Lalu ia di benci oleh Jibril. Kemudian Jibril memanggil penghuni langit, "Sesungguhnya Allah membenci Fulan, maka bencilah kamu sekalian terhadapnya". Beliau bersabda, "Kemudian ia di bumi dibenci oleh orang-orang" (Hadits ditakhrij oleh Imam Muslim)

“Setiap diri kita berkewajiban menanam dan mempersubur benih cinta dan mencintai di kalangan sesama anggota serta memperkuat persaudaraan karena Allah. Agar setiap hati dan jiwa menyatu dalam ikatan aqidah. Karena aqidah adalah ikatan yang paling teguh dan bernilai. Perlu disadari bahwa persatuan adalah lambang kekuatan. Tidak akan ada kesatuan tanpa cinta. Cinta yang paling rendah adalah kelapangan dada dan berbaik sangka kepada saudaranya, sedangkan derajat yang paling tinggi adalah mengutamakan saudaranya daripada dirinya sendiri” (Musthafa Mansyhur)

Sekiranya engkaulah yang menjadi orang yang paling bermakna bagi diriku.. Beri aku ilmu tentang diriku...[]

1 komentar:

Anonim mengatakan...

manusia adalah makhluk paling sempurna di alam ini..
manusia akan mempunyai makna berarti bila dapat berguna bagi orang lain..
saya juga ingin bermakna bagi orang lain, makanya saya kasih komentar disini..
kunjungi blog ku ya..
http://inspirite.0fees.net