Sabtu, 03 Januari 2009

Rupiah Yang Terbuang

Kepingan rupiah itu dibiarkan jatuh dan hanya butuh satu detik untuk meliriknya dan memutuskan tidak mengambilnya kembali. Mungkin itu yang sering dilakukan oleh orang-orang saat mendapati uang recehannya jatuh, mengikhlaskan begitu saja tanpa meninggalkan hukum yang jelas atasnya. Baginya seratus, dua ratus atau kepingan uang ratusan yang lain tidak berarti, tetapi mereka melupakan nilainya di mata seorang pengemis jalanan.

Anak-anak kecil “genjrang-genjreng” menyanyi dengan suara serak diusirnya secara halus. Padahal, mereka sadar bahwa bukan uang puluhan ribuan atau ratusan ribu yang orang-orang jalanan cari dan atau meminta. Tetapi, sekedar uang recehan yang tercecer di saku celana para pejalan kaki, pengendara motor atau orang lain yang ditakdirkan rezeki berlebih dari Tuhan. Tidak bermimpi mereka mendapatkan uang banyak-banyak karena mereka adalah manusia biasa yang bisa berpikir atas ketidakberartian pekerjaan yang mereka jalani.

Uang recehan-recehan yang tercecer itu berharap tertimbun di saku celana yang kempes. Tetapi, orang-orang itu terus berpikir bahwa dengan memberi uang padanya akan membuat orang-orang miskin menjadi malas. Begitu sempit pemikiran orang-orang yang mengaku berpendidikan tinggi itu. Siapa yang ingin menjadi pengemis, pemulung, atau berlabel miskin? Atau mereka mengeluh karena banyaknya orang-orang miskin yang hidup di dunia ini. Tetapi, mereka juga harus ingat bahwa orang-orang miskin tidak pernah menyesal dengan pertambahan jumlah orang kaya dadakan.

Bukankah Tuhan telah bertindak adil, dijadikan oleh-Nya manusia-manusia, ada yang kaya dan ada yang miskin? Tuhan hanya ingin melihat hamba-hamba-Nya mampu bersyukur dengan berbagi. Kewajiban yang dilupakan dengan sengaja. Mereka lebih suka menggelengkan kepala (menolak, pen) daripada memberi sekeping atau dua keping uang receh untuk menyambung kehidupan orang-orang miskin. Mereka juga tidak sadar bahwa orang-orang miskin itu kemarin telah melihat fotonya terpampang di koran yang mereka jual. Dengan sedikit kemampuan mengeja huruf sebelum putus sekolah, tulisan-tulisan koran telah mengabarkan kepadanya bahwa mereka sangat peduli dengan kemiskinan. Ah, begitu sombongnya mereka terhadap diri mereka sendiri.

Orang miskin tidak identik dengan mengemis atau meminta, tetapi diantara orang miskin itu ada yang terus berusaha bekerja tanpa meminta belas kasihan orang. Hanya saja penghasilan mereka tidak mampu menyekolahkan anak-anak hingga perguruan tinggi atau bahkan sekadar membelikan susu untuk balita dalam dekapannya. Entah mengapa barang dagangannya hanya terjual sedikit padahal sudah ada pelayanan mengantar hingga di hadapannya? Tetapi, kendaraan-kendaraan yang mereka tumpangi lebih nyaman berhenti di agen koran besar untuk membeli koran serupa. Selisih seratus hingga dua ratus perak saja mereka kejar. Lagi-lagi anak-anak itu termangu dalam diam dan menatap lekat-lekat kendaraan yang lalu lalang sambil berbisik, ”kali ini gagal lagi”.

Niat kebaikan dalam hati manusia-manusia itu hanya mampu ditimbun hingga menggunung. Padahal, setiap detik waktu berjalan orang-orang miskin terus berpikir akan ketidakpastian nasib yang akan dijalani esok hari. Tidak adakah sedikit tindakan nyata yang bisa mereka lakukan untuk penuhi tuntutan naluri kemanusiaannya? Tidakkah mereka ingin saudara-saudaranya bangkit dari jeratan kemiskinan? Atau mereka tidak tahu apa yang bisa dan harus mereka lakukan serta hanya membiarkan uang recehannya jatuh di pinggir-pinggir jalan? Orang-orang miskin itu hanya menatap heran dan melirik sekilas recehan-recehan yang tercecer. Andaikan uang itu terasa halal baginya, pasti sudah bisa termanfaatkan untuk hidup. Mereka berlalu dan segera bersemangat kembali menjemput rezeki Tuhan, menjual suara, koran, jasa mengelap kendaraan atau memilih dan memilah sampah-sampah.

Jika saja setiap orang yang ingin mencari berita aktual dan terbaru membeli koran dari anak-anak jalanan, bukankah itu satu tindakan kecil untuk mengurangi tingkat kemiskinan? Setelah usai baca, mereka berikan koran-koran bekas pada pemulung untuk dijual kembali tanpa meminta imbalan. Bukankah hal ini dapat pula dikata, uang yang mereka keluarkan untuk membeli koran telah berlipat ganda menyalurkan rezeki Tuhan pada orang lain?

Jika saja uang recehan, sisa jasa parkir, mereka berikan pada salah satu dari pengemis, pengamen jalanan atau jasa pengelap kendaraan, bukankah itu juga melegakan hati bahwa mereka akan makan hari ini? Merentas kemiskinan tidak harus dilakukan dengan konsep-konsep yang besar karena pada akhirnya hanya sekedar menjadi janji, ucapan atau tulisan di media massa saja. Bertindak akan menjadi lebih terasa sebagai kontribusi nyata daripada harus menunggu tiba masanya merealisasikan konsep pemberantasan kemiskinan secara bersama-sama. Meskipun sedikit yang bisa dilakukan, tidak ada peluang untuk berpikir berulang kali mengurangi tingkat kemiskinan negeri ini.

Tidak ada komentar: